MENJADI PEMIMPIN DALAM PANGGUNG KETIDAKPASTIAN - AKSINOSIA(Akselerasi Inovasi Asia)

MENJADI PEMIMPIN DALAM PANGGUNG KETIDAKPASTIAN

Share:


Tidak bisa dipungkiri, media sosial telah digunakan oleh berbagai kalangan, di manfaatkan oleh masyarakat dari berbagai background baik umur maupun pendidikan. Bahkan tak jarang satu orang menggunakan lebih dari satu akun dalam satu aplikasi. Mulai dari FB, IG, Twitter hingga Whatsapp. 

Saya jadi ingat sebuah film berjudul Surrogate yang dibintangi aktor Nicholas Cage. Disitu di ceritakan dunia sudah sangat berubah. Ketika orang bersosial tidak lagi sebagai dirinya, tapi diwakili oleh robot yg dikendalikan oleh pengguna dari rumah. Tidak sedikit orang yang memilih robot karakternya sangat berbeda dengan karakter asli mereka. Bahkan ada laki laki yang memilih karakter robot perempuan cantik untuk mendapatkan kencan dengan lelaki di luar sana. Absurd, tapi hampir  mewakili keadaan di dunia maya zaman now.

Kita masuk pada era dimana netizen bebas menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginannya. Hal ini disebabkan karena hampir tidak adanya pertanggung jawaban moral ketika seseorang mengeluarkan sebuah statement. Orang menjadi merasa lebih aman dan nyaman dalam menyampaikan pendapat, karena tidak bertemu langsung. Bahkan sering kali orang mengeluarkan statement melalui akun akun bayangan, semacam alter ego dalam kehidupan bermedsos.

Masalah yang sering timbul adalah ketika dalam sebuah obrolan, muncul akun akun yang menyebarkan opini pribadi yang bersifat menyerang lawan bicara. Atau mengungkapkan sesuatu yang menimbulkan asumsi negatif terhadap hal tertentu. Tapi itu semua menjadi lumrah dalam dunia medsos.
Intinya ada sebagian orang yang menjadi lebih berani di media sosial dibanding dalam dunia nyata. 

MANUSIA DALAM DUNIA MAYA MENJADI SEMACAM MANUSIA YANG SANGAT SULIT DITEBAK KARAKTERNYA

Kembali ke dunia nyata, seiring berjalannya waktu, akan timbul kesulitan kesulitan lain dalam masalah kepemimpinan.


Orang tua jadi semakin sulit memberi batasan kepada anaknya. 
Bukan tidak mungkin seorang anak yang penurut penuh kasih sayang, ternyata adalah seorang psikopat di dunia maya, tanpa sepengetahuan orang tuanya.


Supervisor menjadi kesulitan menyatukan visi dengan bawahannya.
Tidak sedikit nantinya muncul group whatsapp yg anggotanya berisi rombongan sakit hati yang memberontak dibawah tanah karena merasa didzolimi oleh keputusan atasannya, tapi tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat.

Dan masih akan muncul banyak masalah lain yang kadang tidak terpikirkan oleh kita.

Mau tidak mau, siap tidak siap, kita harus bisa menghadapi kondisi kondisi seperti diatas. Setiap manusia digariskan untuk menjadi pemimpin. Paling tidak memimpin sebuah kelompok kecil yang disebut keluarga nantinya. Entah sebagai Ibu, atau sebagai Ayah. Pun dalam karir dan pekerjaan, orang yang berpikiran maju, seharusnya memiliki pemikiran bahwa dia tidak akan selamanya menjadi bawahan. 

Dan karena dunia memang telah berubah sedemikian rupa, maka kita juga harus ikut berubah jika ingin bertahan.

Dalam sebuah konsep yang di sampaikan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus, di jelaskan bahwa dunia sudah masuk kedalam era VUCA, yang merupakan singkatan dari Volatility (gejolak), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (serba kabur). Banyak artikel yang mengupas hal ini, tapi seringkali solusi yang disampaikan hanya sebatas teori yang mana sangat sulit untuk diaplikasikan secara praktis.

Banyak yang membahas dan menjelaskan bahwa orang tua dan pemimpin yang ingin survive menghadapi VUCA, juga harus memiliki VUCA, yaitu Vision (Visi), Understanding (Pemahaman) , Clarity (Ketajaman) dan Agility (Kelincahan).


Pertanyaan pun muncul ketika ditabrakkan dengan kasus seperti yang tadi disebutkan. Supervisor akan sangat kesulitan dalam menyamakan Visi dengan bawahannya, dan Orang tua kesulitan memahami anaknya.
Semua karena ketidakpastian yang diciptakan oleh budaya sosial media.

Lalu bagaimana agar Visi, Pemahaman, Ketajaman dan Kelincahan, menjadikan pemimpin bisa bersinergi dalam memanajemen anak buah, atau pada orang tua sehingga menjadi maksimal dalam membangun karakter anak?

Kita sejenak mundur, mangambil nafas dan memahami sebuah teori yang lebih tua, tapi masih relevan digunakan.


Eric Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. 

Menariknya bahwa Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.




Adapun 8 tahap tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
Jika seseorang berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. 
Atasan/ Orang tua yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada pribadi seseorang. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.

Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
Orang yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.

Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
Pada fase ini seseorang akan merasa lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
Orang yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila seseorang tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.

Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
seseorang yang merasa didukung dan diarahkan, akan membangun perasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya. 
Sedangkan yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
Permasalahan yang dapat timbul adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.

Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
Bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.

Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.

Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.

Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.
Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.

Nah, kita asumsikan bahwa tidak setiap orang sukses melewati tahap tahap tersebut.

Dalam hubungannya dengan sosial media seperti yang di sebut di awal tadi, maka bisa dikatakan, dengan membangun identitas, diharapkan orang akan lebih jujur pada dirinya sendiri, sehingga meminimalisir munculnya alter ego dalam kehidupan bersosial media. Mengurangi gerakan bawah tanah dan kasak kusuk yang menyuarakan ketidak-puasan, karena orang nyaman dan bebas bersuara selama berada dalam batas etika dan kesopanan. 

Identitas yang baik dibangun dengan memberikan kepercayaan, sehingga seseorang tidak takut untuk mengambil inisiatif, karena merasa memiliki otonomi. Dan kepercayaan bisa didapat melalui keintiman.


Keintiman itu sendiri tentu berbeda antara keintiman dalam hubungan atasan dengan bawahan, dan hubungan orang tua dan anak. Walaupun sama sama membutuhkan adanya kehangatan dan kenyamanan. 


Maka itu untuk mendapatkan Visi, Pemahaman, Ketajaman dan Kelincahan, itu seorang pemimpin harus bisa menjadi fasilitator agar individu yang dipimpinnya memiliki TRUST, OTONOMI, INISIATIF, KETEKUNAN, IDENTITAS DAN KEINTIMAN sehingga menjadi pribadi yang mampu BANGKIT dan BERINTEGRITAS.

Dan sebaliknya, dalam membangun TRUST, OTONOMI, INISIATIF, KETEKUNAN, IDENTITAS DAN KEINTIMAN tersebut, hendaklah menggunakan konsep VISI, PEMAHAMAN, KETAJAMAN dan KELINCAHAN. 

Dan semua bisa di lakukan hanya jika kita mau untuk kembali untuk belajar.


Sumber : Irmadli Kumahersinung

No comments